Demi Marwah Partai, Puan Harus Capres

JAKARTA – Puan Maharani, sebuah nama fenomenal. Perempuan pertama yang berhasil duduk di puncak singgasana parlemen. Ketua DPR RI. Boleh saja orang nyinyir dianggap tidak pintar atau punya perilaku tidak etis karena mematikan mic saat anggota sedang bicara. Tapi bisa dipastikan yang menyanjung jauh lebih banyak dari yang nyinyir.

Kehebatan Puan bukan saja karena dia Ketua Parlemen, tetapi sejak lahirpun dia sudah hebat. Betapa tidak, dia lahir dari seorang ibu yang anak presiden pertama Indonesia. Maka Puan adalah cucu presiden. Lebih dahsyat lagi ibunya kemudian menjadi presiden. Dan ibunya adalah presiden perempuan pertama di Indonesia.

Maka sebutan Puan menjadi : Ketua DPR RI Perempuan pertama, Cucu presiden pertama dan anak presiden perempuan pertama di Indonesia.

Masih ada predikat lain, yaitu Puan adalah kader andalan yang digadang-gadang menjadi calon presiden dari PDIP, partai pemenang partama di tiga kali pemilu era reformasi.

Pendek kata, Puan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kriteria sebagai Calon Presiden. Posisi Ketua DPR adalah merupakan simbol prestasi perjuangan. Dan menjalankan tugas sebagau ketua DPR adalah indikator seseorang memiliki pengalaman memimpin lembaga tinggi negara.

Lalu jika menggunakan kriteria _bibit, bebet, bobot_, Puan memiliki semuanya. Bibit, jelas seperti dikemukakan di depan, dia keturunan orang hebat. Bebet, atau kekayaan secara ekonomi, Puan adalah isteri pengusaha sukses. Dan Bobot, Puan jelas tokoh yang berbobot dengan segudang pengalaman memimpin lembaga besar. Disamping Ketua DPR, Puan pernah menjadi menteri. Bukan sembarang menteri. Tapi menteri koordinator. Artinya menteri yang membawahi beberapa menteri.

Walhasil, Puan memenuhi kualifikasi sebagai Capres. Puan bisa menjadi obat kekecewaan kaum Marhen selama hampir 10 tahun. Kecewa karena selama pilpres dilakukan secara langsung, PDIP tidak pernah dianggap menang secara hakiki. Dari empat kali pilpres, PDIP dua kali kalah dan dua kali kecewa karena tidak berhasil mengusung kader utamanya. Pilpres 2004 dan 2009, PDIP mencalonkan Megawati dan kalah. Kemudian 2014 dan 2019 PDIP terpaksa menerima tekanan kuat, sehingga mau tidak mau menerima Jokowi sebagai Capres dari PDIP.

Nama Puan sudah dimunculkan sebagai bakal calon sejak 2014. Hingga kini sudah memakan cukup waktu bagi Puan mempersiapkan diri segala sesuatunya untuk menjadi Calon Presiden.

PDIP sudah berpengalaman menjadi penguasa saat Mega menjadi Wapres dan selanjutnya Presiden. Pernah beroposisi 10 tahun saat Indonesia dipimpin SBY. Kemudian dua periode memiliki Presiden yang bukan pimpinan di partai dan bukan bagian langsung dari partai.

Tentu PDIP sudah melakukan refleksi dan evaluasi. Pasti sudah merumuskan kesimpulan, pada posisi mana PDIP harus memperjuangkan secara maksimal, mati-matian.

PDIP sebagai partai besar dan tiga kali menjadi pemenang pemilu di era reformasi ini tidak mungkin akan tinggal diam. Semampang masih pada tataran kewenangannya, maka PDIP harus menggunakan kewenangan itu untuk kepentingan yang lebih baik.

Kewenangan PDIP

Sesuai Undang-undang, PDIP satu-satunya partai yang dapat memenuhi presidential thershold. PDIP dapat mengusung Calon Presiden/Wapres sendiri tanpa partai lain. PDIP bebas menentukan siapa Capres dan Cawapres yang hendak diusung.

Maka seharusnya PDIP sejak sekarang sudah bisa mengambil keputusan dan mengumumkannya ke publik. Agar si calon segera bisa melakukan sosialisasi mencari dukungan.

Soal siapa yang hendak dicalonkan, ukuran pertama adalah siapa yang memiliki komitmen tertinggi dalam merealisasikan mimpi PDIP tentang Indonesia. Yang paling bisa menjadi peluru perjuangan PDIP. Dan siapa yang paling bisa ‘diajak bicara’ oleh PDIP dalam merealisasi mimpi-mimpi partai.

Ukuran-ukuran itu mengharuskan PDIP untuk mencalokan kader pilihannya, tentu Puan Mharani. Bukan sekadar orang PDIP atau simpatisan partai. Dan untuk merealisasikan mimpi-mimpinya tentang Indonesia, PDIP harus mencalonkan kader utamanya menjadi Calon Presiden bukan Wapres.

Fakta yang tergambar jelas dalam sejarah Indonesia, Wapres tidaklah memiliki kewenangan besar dalam proses penyelenggaraan negara. Alangkah disayangkan, jika PDIP sebagai partai pemenang pemilu, satu-satunya partai yang yang berwenang secara mandiri menentukan Capres/Cawapres. Lalu hanya rela menjadikan kader andalannya sebagai Calon Wakil Presiden.

Apalagi jika mengalami kekalahan dalam Pilpres, maka PDIP menjadi kalah dua kali. Kalah dalam proses dan kalah pada hasil. Tentu harga diri partai menjadi semakin kempes tak berdaya.

Berbeda keadaanya, jika PDIP gagah berani mencalonkan kader utamanya menjadi presiden. Maka pada tahapan ini partai sudah menang dan membuat rasa bangga pada pendukungnya. Tentu harus diperjuangkan agar bisa menang Pilpres. Modal menang Pemilu 2019 harus dipelihara dan ditingkatkan agar pemilu berikutnya juga menang. Menang Pileg dan Menang Pilpres.

Jikapun kalah dalam Pilpres, tidak mengurangi marwah partai. PDIP tetap gagah berani. Maka demi marwah PDIP dan membuat kaum marhen tersenyum, Puan Maharani harus menjadi Presiden.

*Wahyudin*
*Koordinator Kajian dan Analisa Keterbukaan Informasi Publik (KAKI Publik)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *